NEWS24.CO.ID - Coca-Cola adalah salah satu merek dagang paling berharga di dunia. Di Indonesia juga. Sejak awal, Coca-Cola telah menjadi terkenal. Popularitas Coca Cola meningkat ketika diterapkan keterbukaan ekonomi ala Orde Baru.
Coca Cola punya rahasia penting, yakni geliat promosi yang selalu mengundang minat. Lebih dari 200 negara telah menjual minuman yang biasa disebut Coke. Coke kemudian dijuluki sebagai minuman berjiwa internasional. Mungkin tidak akan ada Coke jika tidak ada minat dari seorang apoteker asal Georgia, Amerika Serikat (AS) John Pemberton pada tahun 1886. Saat itu John Pemberton terobsesi membuat obat penghilang rasa sakit.
Namun, obat yang ingin ia ciptakan bukanlah berupa obat biasa yang cenderung berasa tidak enak. Dari situlah muncul ide untuk mengembangkan obat berupa minuman yang sekarang kita kenal dengan nama Coca-Cola.
“John Pemberton terobsesi: dia ingin menciptakan obat pamungkas dan minuman sempurna yang digabungkan menjadi satu,” kata Mark Pendergrast dalam For God, Country, and Coca-Cola (2013).
"Dengan itu, dia akan menghasilkan cukup uang untuk mendanai lab impiannya, dengan banyak sisa untuk keluarganya. Dia bahkan dapat menyumbang ke organisasi amal yang layak."
Read More : Falcon Advertising : Lokasi Iklan Billboard di Kota Pekanbaru, Jalan Yos Sudarso Rumbai
Meski tidak serta merta sukses, John Pemberton selalu mengatakan minuman tersebut bisa mengobati banyak penyakit, terutama sakit kepala dan depresi akibat ramuannya yang menggunakan daun koka (bahan utama kokain) dan ekstrak kacang kola yang kaya kafein.
Asistennya kemudian melihat bahan dasar Coca dan Cola sebagai merek dagang yang potensial. Frank Robinson berpikir dua "C" akan menonjol untuk iklan. Dia juga membuat nama dengan huruf miring mengalir. Logo paling terkenal di dunia lahir.
Penjualan Coca Cola awalnya terbatas pada praktik John Berton. Segelas Coca Cola dijual seharga 5 sen. Keberhasilan penjualan membuat John Pemberton mengiklankan minuman khas di The Atlanta Journal pada 29 Mei 1886.
Dalam iklan tersebut ia menekankan pesan: Coca-Cola. Lezat! Segar! Menyenangkan! Segar! minuman bersoda baru yang mengandung sifat tanaman yang menakjubkan dari kokain dan biji cola yang terkenal.
Meluncurkan Britannica, kesuksesan minuman Coca Cola kemudian dilirik oleh apoteker lain, Asa Griggs Candler (1851-1929). Candler membeli paten Coca Cola John Pamberton pada tahun 1887. Di tangan Candler itulah Coca Cola menjadi mendunia.
Pada tahun 1891, ia mengambil kepemilikan penuh atas Coca Cola. Candler mendirikan Perusahaan Coca Cola pada tahun berikutnya. Candler juga langsung mendaftarkan paten merek dagang Coca-Cola pada tahun 1893.
Gerakan cepat Candler dan naluri bisnis yang tajam membuat Coca Cola terkenal. Candler kemudian juga dikenal sebagai orang yang melatarbelakangi lahirnya konsep diskon alias diskon.
Penjualan yang awalnya hanya sekitar sembilan ribu galon pada tahun 1890 meningkat menjadi 370.877 galon pada tahun 1900.
Pertumbuhan penjualan juga didukung oleh berdirinya banyak pabrik Coca Cola Company di kota-kota besar AS, seperti Dallas, Los Angeles, dan Philadelphia. Penjualan Coca Cola berkembang lebih jauh, ketika Candler menandatangani perjanjian pertamanya dengan perusahaan pembotolan independen.
Perusahaan ini diberikan lisensi untuk memproduksi, membotolkan, dan mendistribusikan Coca Cola. Perjanjian lisensi (pabrik pembotolan) tersebut kemudian menjadi dasar sistem distribusi yang menjadi ciri khas minuman ringan AS.
Read More : Cara Budidaya Lobster Air Tawar di Lahan Terbatas, Mulai dari Pembenihan hingga Panen
Coca Cola masuk ke Indonesia
Coca Cola pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1927. Produk Coca Cola didatangkan oleh seorang insinyur Belanda bernama De Koenig dalam bentuk botol utuh.
Setelah itu, pada tahun 1932 Coca-Cola mulai diproduksi massal. Produksi massal tersebut dilakukan oleh De Water Nederlands Indische Mineral Water Farieck (Pabrik Air Mineral Hindia Belanda) di Batavia.
“Produk Coca Cola diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 1927, dengan produksi lokal dimulai di Jakarta pada tahun 1932. Pada tahun pertama produksi sekitar 10.000 terjual dengan bantuan hanya tiga truk dan 25 karyawan,” tulis Domunikus Juju dan Feri Sulianta dalam buku Promosi Branding dengan Jejaring Sosial (2010).
Namun, sepuluh tahun kemudian atau tepat setelah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, produksi Coca-Cola berhenti total. Geliat produksi Coca-Cola mulai terlihat titik terangnya setelah Indonesia merdeka pada 1945.
Pabrik tersebut kembali beroperasi di bawah bendera The Indonesia Bottles Ltd Nv (IBL), perusahaan nasional yang didirikan oleh TH Ticoalu, Tatang Nana, dan Harry Handojo. Pabrik tersebut mampu memproduksi 1.000 hingga 1.500 keping Coca Cola setiap hari.
Perusahaan juga mempekerjakan 25 orang yang dibantu oleh tiga sampai tujuh truk untuk distribusi. Meski produksi berjalan lancar, Coca Cola belum mampu melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di Nusantara.
Pasalnya, Presiden Soekarno tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau kapitalisme. Namun, Coca-Cola berkembang pesat ketika Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Suharto berkuasa. Dengan konsep keterbukaan ekonomi, Coca Cola dan produk luar negeri lainnya mulai membanjiri nusantara.
“Pada tahun 1970-an, seiring dengan arus penanaman modal asing dan modal dalam negeri, aktivitas bisnis periklanan sebagai kekuatan utama komunikasi pemasaran industri dan perdagangan modern mulai meningkat,” tulis Bedjo Riyanto dalam buku Strategi Kemasan Kenikmatan (2019).
Berbagai perusahaan multinasional berskala global mulai memantapkan pasarnya di Indonesia seperti Coca-Cola, General Motors, Toyota, Mitsubishi, FujiFilm, Unilever, Procter & Gamble, dan lain-lain. Dengan mendatangkan biro iklan yang dipercaya sebagai perencana dan pelaksana program kampanye promosi pemasaran produk.”
Coca Cola kemudian mendominasi pasar minuman ringan di Indonesia. Kondisi ini sejalan dengan bermunculannya pabrik pembotolan Coca Cola di sepuluh daerah. Pabrik-pabrik tersebut berturut-turut dibangun di Jakarta (1971), Medan (1973), Surabaya (1976), Semarang (1976), Ujung Pandang (1981), Bandung (1983), Padang (1985), Bali (1985), Manado (1985). ), dan Banjarmasin (1981).
Seperti yang diharapkan, kebiasaan minum Coca-Cola ala barat telah menjadi tren baru di kalangan masyarakat Indonesia. Mereka yang awalnya sering mengonsumsi limun tergerak untuk membeli Coca Cola. Karena itu pengusaha limun lokal mulai merugi.
Apalagi industri kecil minuman tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sastrawan, Goenawan Mohamad yang hidup pada masa Orde Baru setuju dengan kondisi ini. "Kolonel putih tua itu (Ayam Goreng Kentucky) akhirnya tidak membunuh Mbok Berek."
“Ayam goreng Amerika yang menyebar, alhamdulillah, tidak menjadi ayam goreng tunggal. Coca Cola memang menekan pabrik kecil lokal ketika tiba di sini; tetapi kemudian datang Teh Botol Sosro. Kemudian, yang lain. Cendol, wedang ronde, dan sekoteng bahkan tetap tak tergantikan – meski tidak ada pidato khusus di RT-RT untuk membela mereka,” pungkas Goenawan Mohamad dalam artikel di majalah Tempo berjudul Seragam (1985).