Thursday, 24 Apr 2025

Asal Usul Sembako, Kebutuhan Pokok Masyarakat Yang Akan Dikenakan Pajak 12 Persen

news24xx


Foto : VOIFoto : VOI
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian kebutuhan pokok. Rencana ini menimbulkan kontroversi. Sebenarnya, bagaimana asal muasal munculnya kata “groceries”?

Rencana tersebut tertuang dalam revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar luas. Dalam Pasal 4A, pemerintah seolah menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Satu hal yang dihilangkan dari ketentuan tersebut adalah kebutuhan pokok. Artinya, kebutuhan pokok akan dikenakan PPN sebesar 12 persen. Jika niat pemerintah lancar, PPN sembako akan mulai berlaku tahun depan.

Dan bukan hanya sembako. Pemerintah juga akan memungut tarif PPN untuk layanan pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam draf KUP yang sama, di mana pemerintah menambahkan jenis layanan pendidikan pada sektor yang dikenai PPN.

Dan soal angka 12 persen itu diatur dalam Pasal 7 ayat 1. Kenaikan nilai dari nilai semula 10 persen.


Read More : Falcon Advertising : Lokasi Iklan Billboard di Kota Pekanbaru, Jalan Yos Sudarso Rumbai

Awal mula kata “sembako” adalah ketika pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998 atau sering disingkat Kepmenperindag 115/1998.

Dalam peraturan tersebut, sembilan bahan dasar diklasifikasikan yang kemudian disingkat "sembako". Kesembilan bahan utama tersebut adalah:

  1. Beras, sagu dan jagung
  2. Gula pasir
  3. Sayur-sayuran dan buah-buahan
  4. Daging sapi dan ayam dan ikan
  5. Minyak goreng dan margarin
  6. Susu
  7. Telur
  8. inyak tanah atau LPG,
  9. Garam Yodium dan Natrium.

Klasifikasi bahan baku kemudian mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/3/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Dalam Bidang Distribusi Barang Pokok yang mulai berlaku pada 3 April 2017.

Peraturan Menteri Perdagangan ini dimaksudkan untuk menjalankan amanat Pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Kebutuhan pokok tersebut merupakan barang-barang yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dalam skala kebutuhan primer.

Alasan PPN untuk bahan makanan
Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dasar pengenaan PPN atas kebutuhan pokok. Menurut Prastowo, banyak negara di dunia saat ini sedang berpikir untuk mengoptimalkan pajak untuk keberlanjutan. Salah satunya adalah penyesuaian PPN.

"Ada 15 negara yang sudah menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN untuk 127 negara adalah 15,4 persen. Kami masih di 10 persen," jelas Prastowo dalam penjelasannya di media sosial Twitter.

Prastowo juga menjelaskan, pemerintah telah mengkaji dan melakukan benchmarking dengan negara lain terkait PPN. Hasilnya ditemukan 24 negara menetapkan tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara pada kisaran 11-20 persen, dan sisanya di bawah 10 persen.

Prastowo menambahkan, penerimaan PPN Indonesia belum optimal. Salah satu penyebabnya, menurut Yustinus, adalah banyaknya pengecualian dan fasilitas. Bahkan, dia menyebut Indonesia sebagai negara dengan pengecualian terbanyak.

“Intermezzo: enak banget, malah banyak barang dan jasa yang dikeluarkan atau mendapat fasilitas tanpa memperdulikan jenis, harga, dan golongan yang mengkonsumsinya. Baik itu beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan misalnya. Apapun jenisnya. dan harga, semuanya gratis!" dia menulis.



Read More : Cara Budidaya Lobster Air Tawar di Lahan Terbatas, Mulai dari Pembenihan hingga Panen

Kebijakan berbau kapitalisme
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat kebijakan ini sebagai praktik kapitalisme oleh negara. Dan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) atau siapa pun tidak bisa melakukan ini. Indonesia tidak seperti Amerika Serikat, Jerman, atau Inggris yang menganut sistem ekonomi kapitalis.

Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Ada alasan mengapa Indonesia menerapkan sistem ekonomi ini. Faktor internal, meliputi letak geografis, kondisi fisik, kuantitas, dan kualitas sumber daya alam dan manusia.

Selain itu, ada juga faktor eksternal yaitu perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, politik dunia, dan keamanan global. Dari kondisi tersebut, sistem ekonomi Pancasila dipilih karena mengandung makna demokrasi ekonomi. Kami membedah karakteristiknya.

Ciri pertama adalah bahwa kegiatan ekonomi Indonesia merupakan kegiatan bersama berdasarkan prinsip kegotongroyongan dengan mengutamakan hubungan kekeluargaan. Kedua, cabang produksi yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Dan segala penguasaan atas produksi barang-barang strategis, baik di darat maupun di perairan nusantara, digunakan semata-mata untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, kegiatan ekonomi yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

Selain itu, untuk menjamin asas keadilan, pemerintah berkewajiban untuk mengawasi semua kegiatan swasta – secara umum – untuk menghindari praktik kecurangan, seperti penipuan, monopoli, dan campur tangan mafia perdagangan. Secara sederhana, sistem ekonomi Pancasila tidak menyetujui segala bentuk eksploitasi, apalagi rakyat.

“Indonesia tidak bisa mengeksploitasi rakyatnya. Indonesia bukan negara kapitalis. Kami tidak dibangun seperti itu. Kami dibangun melalui kesepakatan. Jadi apapun alasan kami tidak bisa. Jadi yang dikenakan pajak adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan kebutuhan pokok. ," kata Trubus, dihubungi VOI, Kamis, 10 Juni.

"Itu kebijakan publik yang bertentangan dengan UUD 45. Negara kita adalah negara yang istilahnya hidup untuk kebutuhan rakyat. Itu tanggung jawab negara. Pendidikan dan kebutuhan pokok tidak bisa dipungut pajak," tegas Trubus.





Loading...