NEWS24.CO.ID - Sejumlah anjuran diberikan untuk meminimalisir atau tidak menikah di usia dini. Hal tersebut memiliki alasan ilmiah, salah satunya adalah tingkat kematangan emosi yang penting untuk dijadikan landasan dalam rumah tangga.
Dilansir dari VOI, Larissa Chou mengajukan gugatan cerai dari Alvin Faiz.
Pasangan ini telah membangun rumah tangga sejak 5 tahun lalu. Tepatnya saat berumur 17 tahun. Tidak ada alasan perpisahan yang diungkapkan, tetapi ini bisa menjadi sumber pelajaran tentang dampak pernikahan dini.
Kematangan emosi perempuan rata-rata dicapai pada usia 21 tahun sedangkan laki-laki 25 tahun. Idealnya, pada usia tersebut ukuran minimal sudah siap untuk menikah.
Read More : AHY Terpilih Kembali Jadi Ketum Demokrat, Perkuat Jalinan dengan Prabowo
Berikut dampak buruk yang rata-rata terjadi pada pernikahan dini :
Pengembangan diri terhambat
Masa muda adalah waktu yang produktif untuk membangun dan mengembangkan diri. Jika anak masih sangat muda atau sudah dewasa menikah, minat, bakat, potensi, dan pendidikan menjadi tersendat. Kesempatan untuk mengembangkan karir dan cita-cita dibatasi oleh tanggung jawab atas kehidupan rumah tangga.
Kontrol emosi yang rendah dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga
Inilah mengapa kematangan emosi menjadi tumpuan dalam rumah tangga. Kematangan emosi terkait dengan pengendalian emosi dan pelepasan emosi negatif tanpa menyakiti pasangannya. Saat remaja dan memasuki usia dewasa, emosi masih belum stabil sehingga sering terjadi pertengkaran dan kekerasan.
Wirausaha ekonomi cenderung rendah
Dampak negatif ketiga dari pernikahan dini adalah peluang kemandirian cenderung rendah, baik secara finansial, psikologis maupun kesejahteraan keluarga. Akses kerja yang terbatas dikaitkan dengan pengalaman kerja yang minim dan pendidikan yang buruk.
Read More : Jaksa Ungkap Skandal Korupsi PT. Pertamina, Dirut Kedua Ditetapkan Tersangka
Risiko kesehatan reproduksi pada wanita
Dokter Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) menjelaskan abatomi serviks pada wanita di bawah usia 20 tahun ke atas 21 tahun berbeda. Wanita yang menikah pada usia 20 tahun berisiko lebih tinggi terkena kanker serviks. Secara anatomis, leher rahim atau serviks sebagai penghubung antara vagina dan rahim. Area serviks yang masih terbuka saat berusia di bawah 20 tahun meningkatkan potensi kanker. Di usia 21 tahun ke atas, saluran penghubung sudah mulai ditutup sehingga risikonya berkurang.
Meningkatnya risiko perceraian
Pernikahan di usia yang belum dewasa bisa mengganggu kondisi psikologis masing-masing pasangan. Ketidaksiapan mental dan besarnya beban yang harus ditanggung sebagai orang tua juga menjadi pemicu buruknya risiko pernikahan dini. Menikah muda dan memiliki bayi membutuhkan pertanggungjawaban penuh. Tidak adanya kesiapan mental, kematangan emosi, dan kecukupan finansial berperan dalam pengabaian janin dan bayi.
Dari kelima dampak di atas, kita dapat belajar bahwa pernikahan tidak hanya membutuhkan kebulatan suara, tetapi juga kesiapan dari berbagai aspek termasuk psikologis, ekonomi, sosial, dan pengetahuan.