Wednesday, 24 Apr 2024

Ketika Gempa Dan Tsunami Menjadi Kiamat Bagi Masyarakat Flores

news24xx


Foto : https://voi.id/en/memori/42571/east-of-tragedy-earthquake-and-tsunami-are-doomsday-for-floresFoto : https://voi.id/en/memori/42571/east-of-tragedy-earthquake-and-tsunami-are-doomsday-for-flores
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Indonesia merupakan negara yang rawan gempa dan tsunami. Rekaman tentang gempa bumi bahkan sudah ada sejak jaman dahulu kala. Nusantara yang berada di jalur cincin api jawabannya. Gempa dan tsunami Nusa Tenggara Timur (NTT) di Flores pada tahun 1992, misalnya.

Tsunami yang diawali dengan gempa berkekuatan 7,5 skala richter menghancurkan Flores. Ribuan korban berjatuhan. Ratusan tempat ibadah dihancurkan. Masyarakat Flores kemudian mengingat peristiwa ini sebagai 'Kiamat di siang hari'. Jejak Indonesia sebagai episentrum gempa hadir dalam banyak karya dan catatan perjalanan para selebriti dunia.

Salah seorang yang mencatatnya adalah Letnan Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Selama kepemimpinannya di Tanah Harapan (Jawa), Raffles menyadari betapa rawan gempa bumi itu. Raffles pernah menulis tentang gempa besar di Batavia pada tahun 1699. Gempa tersebut membuat lingkungan Batavia semakin tidak sehat.

Pada kesempatan lain, Raffles juga menyebut gempa bumi sebagai salah satu penyebab banyak candi terkenal di nusantara rusak. Baginya, hanya kekuatan tektonik skala besar yang mampu melipat teras-teras bangunan candi. Lantai teras candi melengkung hingga bebatuan stupa berjatuhan dan berserakan di lantai teras, seperti citra Borobudur saat pertama kali ditemukan kembali oleh Raffles.

“Selain pernyataan mereka mengenai dua reruntuhan benda purbakala, Brambanan (Prambanan) dan Boro Bodo (Borobudur) adalah benda megah sebagai mahakarya. Beberapa bangunan ditumbuhi tanaman yang indah. Namun, kehancuran perlahan-lahan terjadi di beberapa tempat. Bentuknya simetris dan teratur, banyak karakter menarik yang bisa dilihat di situs dan relief yang ada, yang penuh dengan ornamen dan membangkitkan rasa penasaran saat ini, namun belum banyak dipelajari, digambar dan dijelaskan banyak, ”kata Thomas. Stamford Raffles dalam karyanya, The History of Java (1817).


Read More : Bamsoet Dukung Fashion Show Tenun dan Batik Indonesia di San Polo Italia

Berbeda dengan Raffles.

Alfred Russel Wallace, naturalis dalam perjalanannya ke Nusantara, mencatat banyak gempa bumi di luar Jawa, tepatnya di bagian timur nusantara. Timur Nusantara disebut Alfred sebagai daerah yang paling rawan gempa. Pengamatan ini tertulis dalam catatan perjalanannya ke Manado, Sulawesi (1858), pada tahun 1858. Alfred sering menemukan gempa bumi berskala kecil yang cukup kuat untuk mengguncang bangunan.

Dalam konteks itu, Alfred bahkan memperhatikan tingkah laku penduduk asli saat gempa melanda kawasan tersebut. Gempa, kata Alfred, mampu menimbulkan rasa takut sekaligus geli bagi penduduk asli. Di satu sisi, Alfred melihat gempa bisa menewaskan banyak orang. Di sisi lain, masyarakat adat setempat menganggap gempa sebagai permainan yang mengharuskan mereka berlomba keluar rumah dengan cepat.

“Ada campuran rasa takut dan geli selama gempa bumi. Kami takut akan getaran yang lebih kuat yang dapat menyebabkan rumah-rumah runtuh menimpa kami. Atau yang lebih saya takuti adalah gempa tersebut akan menyebabkan longsor. Namun, di saat yang sama, asyiknya melihat kami semua berhamburan di luar setiap ada guncangan ringan, lalu langsung masuk lagi, ”tulis Alfred Russel Wallace dalam karyanya, Kepulauan Nusantara (2009).

Gempa dan tsunami Flores 1992
Bisa jadi Alfred Russel Wallace menyebut gempa itu sebagai kombinasi tragedi dan komedi. Asumsi tersebut karena Alfred menjelajahi Indonesia pada periode 1854-1862. Pernyataannya akan berbeda jika ia merasakan langsung gempa dan tsunami di Flores pada 12 Desember 1992. Gempa sebesar itu mengguncang laut Flores dan membawa duka yang mendalam bagi seluruh warganya.

Badan Meteorologi dan Geofisika mencatat, gempa berkekuatan 6,8 skala richter. Namun, lembaga geofisika Institut de Physique du Globeyang yang berbasis di Strasbourg, Prancis, mencatat besarnya mencapai 7,5 SR. Gempa Flores menghancurkan empat kabupaten (Sikka, Ngada, Ende, dan Flores Timur). Setelah itu, gelombang besar Tsunami melanda pulau-pulau kecil dan beberapa desa nelayan. Tercatat, korban tewas akibat kejadian tersebut mencapai lebih dari 2.400 orang.

Selain korban tewas, sekitar 18 ribu rumah hancur, 113 sekolah hancur, 211 kantor rusak berat, 120 tempat ibadah (kebanyakan gereja) tidak bisa digunakan. Lima jalan utama juga lumpuh total. Fakta tersebut menjadikan gempa dan tsunami Flores sebagai gempa dengan korban jiwa terbesar dalam sejarah, sebelum gempa Aceh (2004) dan gempa Yogyakarta (2006).



Read More : Pasca Putusan MK Jokowi Ajak Semua Pihak Bersatu Bekerja Membangun Negara

“Maumere, jantung dan ibu kota Kabupaten Sikka, sedang menderita paling parah. Lebih dari 10 ribu rumah hancur. Kota ini berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa. Denyut nadi kegiatan ekonomi di sana untuk sementara bisa dikatakan koma, meski bukan berarti sudah mati. Lihat saja bagaimana pasar lama di dekat pelabuhan itu hancur. Area pertokoan hanya berupa puing-puing dan bangunan roboh. Kantor BRI, rumah sakit, dan semua gedung pemerintah lainnya rusak berat, ”kata Wahyu Muryadi dan Zed Abidien dalam artikelnya di Majalah Tempo berjudul Bencana dan Bantuan di Pulau Kembang (1992).

Maumere bisa dibilang kota mati. Bencana gempa semakin parah karena setelah itu dampak gelombang tsunami melanda Pulau Babi dan Pulau Pamana Besar. Tsunami juga melanda dua pulau kecil dengan jumlah penduduk sekitar dua ribu jiwa. Hampir semua warga tersedot air. Tak hanya itu, gelombang besar tsunami masih merambat sejauh 300 meter hingga ke pantai Maumere dan menerjang desa nelayan.

“Maumere paling menderita. Sekitar 1.100 orang yang meninggal berasal dari daerah penangkapan ikan yang malang ini. Dan ratusan lainnya terluka parah. Sampai-sampai rumah sakit di Maumere terpaksa membaringkan pasien yang kebanjiran di lorong bangsal, ”tulis laporan majalah Tempo berjudul Apocalypse is Named an Earthquake (2018).

Alhasil, para penyintas memilih membangun tenda darurat di perbukitan terdekat. Apalagi pascabencana gempa dan tsunami, banyak warga yang mengalami trauma mendalam. Penyelamat bergerak cepat. Mayat yang berserakan langsung dikuburkan. Satu orang dikuburkan dalam satu liang.

Ada juga lubang yang diisi oleh dua sampai tiga orang. Meski begitu, lubang pekuburan tidak bisa digali terlalu dalam, karena baru setengah meter yang sudah digali, air asin sudah memenuhi lubang tersebut. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai Kiamat pada siang hari. Duka langsung menyelimuti seluruh Indonesia.

Masyarakat Flores yang semestinya menyambut Natal 1992 dengan penuh suka cita justru merayakan Natal di tengah duka kehilangan sanak saudara dan mata pencahariannya. Untuk mengenang peristiwa ini, band metal asal Surabaya, Power Metal, secara singkat merangkum kesedihan akibat gempa dan tsunami di Flores tahun 1992 dalam sebuah lagu berjudul Timur Tragedi (1993).
.





Loading...