Friday, 26 Apr 2024

Salah Pengelolaan Wakaf Bisa Masuk Dalam Golongan Riba

news24xx


IlustrasiIlustrasi
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Menurut fakta hukum, pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan sesuai dengan prinsip syari’ah dan tidak bertentangan peraturan perwakafan di Indonesia. 

Akan tetapi menurut faktanya di lapangan masih terdapat riba dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf uang tersebut. Hal ini terlihat pada saat nazhir menjaminkan wakaf uang yang dikelola dan dikembangkanya di luar bank syari’ah ke dalam asuransi syari’ah. Atau juga uang wakaf yang dikumpulkan adalah melalui perantara seperti bank konvensional yang merupakan masuk kategori riba karena ada bunga

Dengan demikian, wakaf uang hanya boleh ber­tambah, padahal dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, tidak selamanya nazhir dapat meraih keuntungan, ada kalanya nazhir mengalami kerugian dan pada saat nazhir mengalami keuntungan maka dilakukan bagi keuntungan antara nazhir, mauquf ‘alaih dan lembaga keuangan syari’ah akan tetapi dalam kondisi nazhir meng­alami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung seluruhnya oleh nazhir. 

Apabila konsep ini yang diberlakukan dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, maka apa bedanya lembaga keuangan syari’ah dengan bank lainya yang bukan syari’ah yang menerapkan prinsip riba?

Akan tetapi untuk saat ini, pemerintah telah menerapkan sejumlah aturan pada bank syari'ah. Dan alhasil, bank syari'ah sendiri saat ini mengandung unsur riba di dalamnya. Salah satunya adalah keuntungan bunga yang mencapai 20 persen dari pengelolaan uang yang ada dalam bank. 

Perlu menjadi catatan, nadzir atau pengelola wakaf ini haruslah beragama Islam. 

Selain itu, wakaf uang atau benda lain yang diwakafkan tidak boleh dari hasil korupsi yang didapat dari wakif.


Hubungan Wakif Dengan Nadzir Dalam Pengelolaan Wakaf

Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan, “Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang muslim dari kepemilikannya karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala."

Maka tidak boleh melakukan transaksi terhadapnya baik berupa jual-beli, hibah, ataupun semisalnya. Karena jual-beli itu membutuhkan kejelasan kepemilikan, sedangkan harta wakaf itu tidak memiliki pemilik”.

Oleh karena itu, harta yang telah sah ditetapkan sebagai wakaf tidak boleh diambil kembali. Bahkan, harta tersebut tidak boleh pula diambil kembali oleh yang mewakafkannya (wakif) meskipun dengan mengganti uang seharga tanah tersebut. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 11930).

Apabila harta yang sudah sah diwakafkan oleh pemiliknya akan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh pengelola wakaf (nadzir) maka wakif tetap tidak boleh mengambil kembali harta yang telah diwakafkan, namun dia bisa menggantinya dengan nadzir yang lain. Kewajiban nadzir adalah melaksanakan keinginan dari pihak yang mewakafkan karena itu merupakan amanah yang harus ditunaikan.

Selain itu, wakif hendaknya memperhatikan hal-hal berikut terhadap benda yang diwakafkannya. 
Pertama: Benda wakaf tidak boleh dihibahkan kepada siapapun. Mengapa? Karena wakaf adalah mengambil manfaat, bukan menghabiskan bendanya. 
Kedua:Benda wakaf tidak boleh diwariskan. Karena bila diwariskan, berarti status wakafnya pindah menjadi milik perorangan. 
Ketiga:Benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Karena dengan dijual-belikan, berarti akan hilang benda aslinya. 

Adapun dalil larangan hal tersebut sebagaimana riwayat Umar ra berkata: “Sesungguhnya tanah wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.” (HR Bukhari).

Dalam penjelasan yang lain diceritakan pula: “Sesunggguhnya Umar bin Khathab mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah saw untuk meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,” Jika engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwariskan. Lalu Umar menyedekahkannya kepada fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. (HR Bukhari).

Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Wakaf termasuk akad yang dianggap sah dengan sekadar ucapan sehingga tidak boleh dibatalkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi saw: ‘Tidak boleh dijual bendanya, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan’. ”Begitu pula, seandainya harta yang diwakafkan itu belum ada yang memanfaatkannya dan orang yang mewakafkan dalam keadaan membutuhkannya di masa tuanya, wakaf tetap tidak bisa diambil kembali. []

Sumber. Konsultasi syari'ah

 





Loading...