NEWS24.CO.ID - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo masih membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Negara seolah tidak lagi setia pada demokrasi, tetapi menunjukkan gejala otoritarianisme.
“Pemerintah Joko Widodo masih alergi terhadap kritik yang disuarakan warga. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden yang membolehkan kritik tetapi tidak menjamin ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 September.
Read More : Jelang Lebaran dan Libur Panjang CKB Logistics Optimalkan Bisnis Kargo Udara
KontraS mengamati bahwa kebebasan berekspresi, baik offline maupun online, seringkali menimbulkan reaksi cepat, terutama dari pejabat negara dan polisi, untuk memanggil, menangkap, dan meminta konfirmasi di kantor polisi. Sejak Januari 2021 hingga saat ini, setidaknya ada 26 kasus pembatasan kebebasan berekspresi.
Atas dasar itu, Fatia mendesak Presiden Jokowi untuk menjamin segala bentuk ruang dan ekspresi kritik masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan perintah tegas kepada aparatur negara agar tidak mudah membungkam segala bentuk ekspresi masyarakat.
Read More : KOI Terus Support Atlet Menuju Olimpiade Paris 2024
KontraS juga mendesak Kapolri agar menginstruksikan personelnya untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menyikapi kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Negara melalui Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mengedepankan asas hukum dan hak asasi manusia.
“Pendekatan pengamanan seperti penangkapan sewenang-wenang, kritik yang mengarah pada [pelanggaran] UU ITE, pembungkaman, dan sebagainya hanya akan merugikan upaya masyarakat untuk menyampaikan kritik yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah,” kata Fatia.