Saturday, 20 Apr 2024

Bagaimana Media Sosial Mengambil Kebahagiaan Kita

news24xx


Foto : VOIFoto : VOI
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, platform media sosial TikTok (socmed) berhasil melambungkan namanya di kancah global. Jumlah pengguna TikTok aktif melonjak menjadi 800 juta pada tahun 2020, mengacu pada data We Are Social.

Socmed dari China adalah platform nomor tujuh dengan pengguna terbanyak di dunia. Popularitasnya jauh melampaui Twitter dan Snapchat, dua media sosial - meski memiliki karakteristik berbeda - yang lahir lebih awal.

Perusahaan riset aplikasi Senior Tower menominasikan TikTok sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh pada tahun 2020. Setidaknya terdapat 63,7 juta unduhan di perangkat iOS dan Android.

Angka itu naik 1,6 persen dari periode yang sama tahun lalu. Menariknya, menurut Sensor Tower, negara yang paling banyak mengunduh aplikasi ini adalah Indonesia. Kami berkontribusi sebelas persen dari total unduhan TikTok.

TikTok menambah daftar panjang media sosial yang paling banyak digunakan selain Instagram, Facebook dan WhatsApp. Bagi banyak orang, TikTok merupakan aplikasi yang wajib muncul di beranda smartphone mereka.

Di tengah kegilaan warga dunia meramaikan timeline TikTok, muncullah media sosial berbasis voicemail, Clubhouse. Media sosial anyar ini berhasil memancing semangat baru di tengah antusiasme TikTok yang tak henti-hentinya.

Maraknya antusiasme terhadap Clubhouse tak lepas dari pengaruh sejumlah tokoh revolusioner dunia, seperti pendiri Tesla Motors, Elon Musk, dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Tokoh-tokoh ini tampaknya memelopori penggunaan Clubhouse.


Read More : Pendidikan Berlandaskan Kitab Suci Meningkatkan Keterampilan Literasi

Banyak orang menganggap Clubhouse sebagai media sosial dengan kualitas konten yang bermanfaat. Demam clubhouse menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ciri khas Clubhouse dalam memberikan pengalaman unik dengan mengutamakan fitur pesan suara menjadi salah satu daya tariknya, selain eksklusivitas tentunya.

Iya. Clubhouse memang muncul sebagai platform eksklusif. Mengingat momentum pecahnya antusiasme Clubhouse, bahwa hanya nama-nama besar yang 'pantas' saja yang membuka ruang untuk berdiskusi.

Namun dalam perkembangannya, media sosial tetaplah media sosial. Penggunaannya tersebar luas. Banyak orang kemudian mendirikan ruang diskusi di Clubhouse untuk konferensi skala kecil yang melibatkan orang-orang di lingkungan pribadi.

Tidak ada Elon Musk atau Mark Zuckerberg dan pengetahuan yang diberikan oleh keduanya. Tapi, tidak apa-apa. Itu media sosial. Tidak ada klasifikasi standar mengenai siapa yang bisa dan tidak bisa menggunakannya.

Salah satu yang nggak mau ketinggalan trend Clubhouse adalah Wanda. Tren Clubhouse, kata Wanda, berawal dari teman-teman yang berasal dari influencer.

Awalnya, Wanda kerap melihat rekan-rekannya kerap memberikan undangan untuk bergabung dengan aplikasi yang pertama kali dibuat pada Maret 2020 ini. Minat mengunduh aplikasi mulai muncul.

Bagi yang baru pertama kali mendownload seperti Wanda, Clubhouse memang media sosial yang lumayan asyik. Menurutnya, platform itu dibuat khusus untuk diskusi. Tema diskusi tidak ada habisnya, mulai dari diskusi ringan, serius hingga topik dewasa. Semua bisa didiskusikan. Gratis.

"Tapi karena ini aplikasi gratis ya .. dan karena bisa berbagi apa saja, gratis tidak ada ketentuan seperti ini, seperti itu ... Jadi, semua orang bisa mendapatkan manfaat dari diskusi tersebut," ujar Wanda saat dihubungi VOI. 

Diakui Wanda, pihaknya fokus pada Clubhouse sebagai sarana penggalian informasi yang bermanfaat dari ruang diskusi dengan diskusi yang menarik. "Itulah mengapa saya adalah pengguna yang benar-benar membutuhkannya."



Read More : Saksi-Saksi Yehuwa di Pekanbaru Riau Mengadakan Kegiatan Khusus Global untuk Membagikan Berita Harapan

Senada dengan Wanda, Ole mengakui hal yang sama. Pria berusia 27 tahun itu tertarik pada Clubhouse karena satu alasan: kebebasan. Dalam artian, ia bebas memilah-milah konten yang ingin ia konsumsi.

Kebebasan ini, menurut Ole, menciptakan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa ia peroleh dari platform lain. Tujuan Ole mengunduh Clubhouse jelas, yaitu untuk berdiskusi dengan bebas. Kebebasan mengantarkan Ole menikmati berbagai ruangan dengan berbagai diskusi yang memang dia inginkan.

“Manfaatnya jelas, kebutuhan kami akan informasi tanpa sensor adalah mutlak. Saya tidak mendapatkan kebebasan itu di aplikasi lain, selain Clubhouse,” kata Ole.

Terjebaknya kecanduan media sosial
Peningkatan jumlah pengguna media sosial berbanding lurus dengan durasi penggunaannya. Menurut Statista, rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses media sosial penduduk dunia meningkat sejak lima tahun terakhir.

Pada 2016 misalnya. Rata-rata waktu penduduk dunia menggunakan internet untuk mengakses media sosial dalam satu hari mencapai 128 menit. Pada 2017, jumlahnya meningkat menjadi 134 menit per hari.

Pada 2018, jumlahnya kembali meningkat menjadi 142 menit per hari. Lalu, pada 2019 menjadi 145 menit per hari. Dan di tahun 2020, masih 145 menit per hari. Lamanya waktu seseorang berada di media sosial bukannya tanpa dampak.

Psikolog klinis Nadya Pramesrani mengatakan, aktivitas media sosial tidak boleh berlebihan. Hal-hal yang sering kita dengar. Namun nyatanya, penting untuk menanamkan pemahaman ini berulang kali.

Bahkan dalam beberapa periode, seseorang harus secara berkala mengurangi penggunaan media sosial atau yang biasa dikenal dengan detoksifikasi media sosial. Karena jika tidak, umumnya seseorang akan menjadi ketagihan.

“Di zaman sekarang ini, media sosial memang bisa membuat ketagihan. Kecanduan sosmed adalah perilaku adiktif di mana seseorang sangat mementingkan kinerja dan aktivitas yang terjadi di media sosial serta memiliki dorongan yang tidak terkendali untuk terus menggunakan media sosial yang mengganggu kehidupannya. kesehariannya, "kata Nadya seperti dikutip VOI.

Nadya juga menambahkan, dampak penggunaan media sosial secara berlebihan tidak bisa dianggap remeh. Penggunaan media sosial yang berlebihan, kata Nadya dalam beberapa penelitian berkorelasi dengan rendahnya harga diri.

Harga diri adalah cara seseorang menghargai, menyukai, dan menghargai diri sendiri. Ketika harga diri seseorang melemah, imbasnya pengguna media sosial kerap membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka sering merasa dirampas.

Untuk itu, penting bagi netizen untuk bijak di media sosial. Apalagi untuk mengurangi risiko mendapatkan perasaan tidak bahagia akibat kecanduan media sosial.

“Untuk saat ini saya belum menemukan standar maksimal berapa lama, tapi yang dibutuhkan adalah pengendalian diri dan kesadaran untuk memastikan bahwa fungsi sehari-hari lainnya (seperti kebersihan diri, pekerjaan, interaksi sosial langsung, belajar, istirahat, olah raga) Bisa berjalan seimbang. Namun, disarankan ada tenggang waktu untuk detoksifikasi digital, ”tutup Nadya.

Dampak kecanduan media sosial yang merugikan harga diri seseorang seperti Nadya, dikonfirmasi oleh penelitian yang dilansir di jurnal JAMA Psychiatry. Jurnal tersebut menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental terkait citra diri.

Dampak negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan tidak hanya itu. Di Amerika Serikat, ada bukti. Survei Pew Research yang meneliti para netizen dari remaja AS menyebutkan, beberapa risiko kecanduan media sosial antara lain meningkatnya perasaan cemas bahkan depresi.

Namun sayangnya, sebagian kalangan, terutama remaja AS yang diteliti oleh Pew Research, masih meremehkan dampak negatif media sosial. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin bisa menimbulkan masalah yang lebih serius lagi.





Loading...